Hal   yang pertama melintas di pikiran  kita saat mendengar tentang  Kartu   Tarot adalah hal-hal yang bersifat  klenik tentang ramalan; sesuatu    yang menakutkan, kengerian, atau bahkan  kematian. Anehnya, semua itu    tak pernah terbantahkan. Orang-orang yang  bergelut di dunia Tarot pun    diam-diam seakan mengamini anggapan  negatif tersebut tanpa pernah    bermaksud mengoreksinya. Sebagai salah  satu “praktisi” dalam dunia    Tarot, saya merasa sudah saatnya mengungkap  kontroversi tentang kartu    ramalan tersebut; tentang apa sebenarnya  Kartu Tarot, dari mana asal    muasal Kartu Tarot dan kenapa dunia ramal  meramal dengan medium Kartu    Tarot dapat berkembang menjadi sesuatu yang  menakutkan, bahkan  dibenci   oleh sebagian orang.
Permainan Tarot yang paling populer saat ini adalah Tarot versi Rider-Waite-Smith.  Kartu Tarot sendiri terdiri dari 78 kartu yang terbagi dalam dua  kelompok besar, yaitu Major Arcana (kata Arcana adalah  bentuk jamak dari arkanum, yang artinya “penuh rahasia”. Bagi  para ahli kitab di abad pertengahan, arkanum berarti rahasia  alam) dan Minor Arcana. Ada 22 buah kartu dari keseluruhan 78  Kartu Tarot yang tergolong dalam Arkana Mayor, dan disebut sebagai kartu  trump,    yang berarti ke-22 kartu tersebut memiliki keunggulan  dibandingkan    dengan kartu-kartu yang masuk dalam kategori Arkana Minor. Dari 56  kartu   Arkana Minor sendiri, kita masih bisa kelompokkan lagi  menjadi  empat   jenis kartu sebagaimana layaknya permainan kartu remi.
| Tarot | Kartu Remi | Elemen | 
| Wands, Staves, Rods, Batons atau Tongkat | Clubs atau Keriting, Cengkir | Api | 
| Pentacles, Coins atau Koin | Diamonds atau Tahu, Wajik | Tanah atau Bumi | 
| Cups, Chalices atau Cawan, Gelas | Hearts atau Hati, Cinta | Air | 
| Swords atau Pedang | Spades atau Sekop | Angin atau udara | 
Keempat   kelompok kartu Arkana Minor  tersebut terdiri dari kartu As  2-10, dan   kartu-kartu Kerajaan; dengan  perbedaan Joker (disebut juga Page  atau Knave) masuk menjadi bagiannya. Jack (Knight/Kesatria),  Queen dan King.    Jumlah kartu dalam tiap kelompok  adalah 14. Kartu Tarot sendiri    berasal dari Italia dan awalnya permainan dengan  medium Kartu Tarot ini    disebut Carde da Trionfi, atau Kartu  Kejayaan. Bukti sejarah    berupa dokumen yang disalin pada Abad 1442-1463  menyebutkan bahwa  jenis   permainan dengan medium Kartu Tarot ini bernama Trionfi.  Barulah setelah mendapat pengaruh dari Prancis, nama Trionfi  berubah menjadi Tarrochi.
Popularitas   Kartu Tarot  diperkirakan bermula sejak Antoine Court de  Gebelin   menerbitkan sebuah  buku pada tahun 1781, yang mengungkapkan  bahwa   pendeta-pendeta Mesir  Kuno telah melukis Kartu Tarot berdasarkan Buku  Thoth.   Mereka  kemudian membawa gambar-gambar tersebut ke Roma  untuk   dipersembahkan  kepada Paus, yang selanjutnya memperkenalkan Tarot    hingga ke Avignon,  Prancis, pada abad ke-14. Namun, penjelasan Court de    Gebelin ini  dianggap tidak akurat karena tidak didukung oleh   bukti-bukti  sejarah  dan ditulis sebelum Champollion berhasil   menerjemahkan bahasa  Mesir  Kuno, Hieroglif (Hieroglyph).
Gereja   Katolik dan pemerintahan  daerah di Eropa tidaklah selalu  melarang   permainan Tarot. Di beberapa  daerah bahkan warganya  diperbolehkan   memainkan Tarot, sekalipun  permainan kartu sejenis lainnya  jelas-jelas   dilarang. Namun, “hak  eksklusif” dari Kartu Tarot tersebut tidak   berlangsung  lama. Pada akhir  abad ke-14, seorang penceramah dari   Swiss, Johannes von  Rheinfelden,  secara tiba-tiba menyerang perjudian   dan aneka permainan  kartu,  termasuk Kartu Tarot. Pelarangan ini   kemudian dituangkan dalam Tractus  de moribus et disciplina humanae conversationis, yang diterbitkan  pada tahun 1370 (beberapa ahli menyatakan tahun 1377).
Sebagai   akibat dari pernyataan  ini, John I dari Castile, serta  pemerintahan   Firenze dan Bazel secara  bersamaan mengeluarkan larangan  bermain   kartu. Beberapa tempat seperti  Regensburg dan Duchy of Brabant  pun   menerbitkan larangan serupa pada  tahun 1379. Penceramah Bernard  Siena   bahkan mengatakan bahwa permainan  kartu adalah hasil ciptaan  setan.
Tarot-tarot   tertua saat ini  dibuat pada awal hingga pertengahan abad  ke-15. Ada   tiga set Kartu  Tarot yang kesemuanya adalah milik keluarga  Visconti –   keluarga yang  paling berkuasa di Milan pada saat itu.  Kartu-kartu   tersebut  kemungkinan besar merupakan buah karya lukis dari  seniman   bernama  Bonifacio Bembo dan pelukis-pelukis miniatur dari  Ferrara.   Tujuan  diciptakannya kartu-kartu itu adalah untuk merayakan  perkawinan   antara  keluarga Visconti dengan Sforza. Hingga kini, terdapat  35   kartu yang  tersimpan di Perpustakaan Pierpont Morgan; 26 kartu  lainnya   di  Accademia Carrara; 13 kartu di Casa Calleoni; sedangkan empat    kartu  lainnya (Devil, Tower, Three Swords, dan Knight of  Coins)    tidak dapat ditemukan atau bahkan mungkin tidak pernah  dibuat. Set    kartu “Visconti-Sforza” ini telah direproduksi secara  meluas. Dalam  set   kartu tersebut, Minor Arcana (kartu-kartu  Pedang, Tongkat, Koin, dan Cawan) dan Major Arcana digabungkan  untuk merefleksikan ikonografi konvensional pada saat itu.
Ilustrasi dan interprestasi Tarot berkembang sejalan dengan masa.  
Seringkali   ilustrasi Tarot  dibentuk untuk melayani pandangan mistis dan    kebutuhan penggunanya.  Sebagai contoh, seorang seniman bernama Pamela    Colman Smith melukis  satu set lukisan Major Arcana, yang  didasarkan pada interpretasi Arthur Edward Waite. Hasil karya mereka  kemudian diterbitkan oleh perusahaan percetakan, Rider Company,  dan telah menjadi set Kartu Tarot yang paling populer di peradaban  modern. Set kartu ini dikenal juga dengan sebutan Tarot  Rider-Waite-Smith; dan untuk memudahkan pemahaman terhadap set  kartu ini, Waite menerbitkan buku petunjuk interpretasi Tarotnya, The  Pictorial Key to the Tarot (1910).
Dari   uraian singkat di atas,  sedikit terungkap kenapa Tarot dapat  dengan   mudah terkondisikan menjadi  sebuah kontroversi; selain karena    keberadaannya yang sangat  dipengaruhi oleh kuasa kerajaan, permainan    Kartu Tarot juga tidak dapat  dilepaskan dari pengaruh keyakinan   keimanan  umat manusia,   kemisteriusan akan sejarah asal muasal   permainan kartu  tersebut, serta  berbagai ilmu gaib dan mistis yang   melekat terhadapnya.
Pandangan yang cukup revolusioner terhadap permainan Kartu Tarot  diungkap oleh Joan Bunning dalam situsnya Belajar Tarot Gratis.     Menurutnya, Tarot sebenarnya adalah simbol sentuhan alam bawah sadar     manusia, yang dalam teori psikologi dapat dipersamakan atau hampir     serupa dengan bentuk tes Rorschach inkblot.
Psikolog   ternama Sigmun Freud  bahkan pernah juga membahas dalam teori  alam   bawah sadar-nya bahwa  simbol-simbol dalam Kartu Tarot itulah yang    kemudian memberikan sugesti  kepada manusia (baca : praktisi tarot.red)    untuk menjawab pertanyaan  atau memberikan saran dalam menyelesaikan    masalah kepada pihak kedua  yang datang “berkonsultasi”; hingga tak   heran  jika kesan yang sampai  pada kita mengenai Kartu Tarot adalah   permainan  ramal meramal, dimana  seakan-akan sang praktisi Kartu Tarot   telah  mengetahui jawabannya  terlebih dahulu bahkan sebelum lahirnya   suatu  kejadian/peristiwa.
Secara   ilmiah, tentu saja hal  ini sangat sulit diterima oleh beberapa   pihak.  Teori mengenai “alam  bawah sadar” ala Kartu Tarot ini bahkan   dianggap  sangat bertentangan  dengan dunia Barat — yang lebih   mengedepankan   logika/pemikiran-pemikiran logis, ilmu pasti, dan   teknologi dunia   modern, atau pun dunia Timur — yang sedikit banyak  masih  mempercayai   adanya kekuatan gaib, klenik, mistis, eksklusifisme  dan  cenderung lebih   agamis. Kontroversi mengenai “teori alam bawah  sadar”  ini semata-mata   karena hal tersebut sangat sulit dan sangat  samar untuk  diuraikan    secara logika.
Namun, penulis Ramalan, Antara Perspektif Ilmiah dan Religius,     A. Luluk Widyawan, Pr menjelaskan bahwa pelajaran berharga yang     dihasilkan dari perjumpaan antara dunia ramal meramal, astrologi,     horoskop, dan keimanan manusia dimasa lalu merupakan sesuatu yang tidak     perlu dipertentangan. Dengan kata lain, perbedaan yang terdapat dalam     perspektif ilmiah dan perspektif religius bukanlah sesuatu yang  perlu    dipertentangkan. Hal serupa terlihat pula pada kasus-kasus  dimana  agama   dan ilmu pengetahuan bertemu pada satu titik  persimpangan saat    mengemukanya teori-teori baru, seperti Teori  Evolusi, Realitas Kuantum,    atau pun Teori Genom. Karena pada  dasarnya, ilmu pengetahuan dan  agama   merupakan dua perspektif yang  berbeda dalam menjelaskan rahasia  alam,   termasuk dunia dan kehidupan.
Budi Hardiman dalam sebuah seminar, The Future of  Religion-Science Dialogue,    di Universitas Paramadina, Jakarta,  medio Desember tahun lalu,    mengatakan bahwa dalam perspektif ilmiah,  alam dipandang sebagai sebuah    dunia yang obyektif. Semua fakta tunduk  kepada “hukum alam”.  Berdasar   pada perspektif tersebut, manusia membuat  ramalan tentang  peristiwa   alam dan manipulasi teknis atas alam. Akan  tetapi, manusia  tidak melulu   melihat alam hanya sebagai kumpulan  fakta-fakta,  melainkan juga   sebagai dunia yang dihayati.
Adapun   perspektif religius,  menurut Budi, melihat alam dalam  kaitannya   dengan kenyataan dan  penghayatan eksistensial. Bukan sekedar  sebagai   kebenaran faktual,  tetapi lebih sebagai kebenaran transendental.  Tentu   saja tiap-tiap  perspektif ini mempunyai kebenarannya sendiri,  tetapi   pada tahap  tertentu, kedua perspektif ini saling berhubungan,  sama   penting, dan  bermakna.
Selanjutnya   Budi mengambil  contoh tentang bencana tsunami. Dari  perspektif   ilmiah, bencana ini  merupakan peristiwa dalam dunia obyektif  yang   dapat dikalkulasi secara  geologis. Di sisi lain, perspektif  religius   memaknai bencana tsunami  secara eksistensial dan transendental  sebagai   perjumpaan dari hal-hal  yang melampaui rasionalitas umat  manusia.   Perbedaan antara dua  perspektif tersebut memperlihatkan bahwa  ilmu   pengetahuan tidak  mempersoalkan kebenaran eksistensial dan    transendental; sebagaimana  juga agama tidak berpretensi untuk menjadi    ilmu pengetahuan yang  bertugas memberikan penjelasan tentang suatu    kebenaran yang faktual.
Adapula   pendapat lain,  diungkapkan oleh Hamid Parsania, Rektor Baghir   Al-Ulum  University,  Teheran. Ia mengatakan bahwa dalam  perkembangannya,  ilmu  pengetahuan –  terutama pada abad ke-19 –  dimaknai sebagai  pengetahuan  yang tangible  (indrawi) dan faktual  (dapat dibuktikan).
Ilmu   pengetahuan dapat dimaknai  sebagai sesuatu yang berusaha  menjelaskan   alam semesta dan dalam  perkembangannya dituntut pula  mengajarkan   nilai-nilai kepada  masyarakat. Perkembangan teori-teori  dalam ilmu   pengetahuan telah pula  memunculkan para ahli yang berpendapat  bahwa   ilmu pengetahuan tidaklah  terlepas dari sumber-sumber lain.
Satu   hal yang patut diyakini  adalah bahwa ilmu itu juga bagaikan  sebuah   pisau, tinggal tergantung  dari sudut mana kita bisa meyakininya    sebagai sesuatu yang berguna atau  tidak. Kita tentu membutuhkan pisau    untuk memudahkan pekerjaan kita  mengupas bawang, mengiris roti, atau    sekedar meraut pinsil; namun kita  pun akan menjauhkan pisau tersebut    dari jangkauan anak-anak karena bisa  membuatnya terluka. Dengan segala   kontroversinya, permainan dengan  medium Kartu Tarot pun  merupakan   bagian dari sebuah ilmu pengetahuan  yang terus berkembang  sejalan   dengan zaman.



 
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar